BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Platyhelminthes dalam bahasa yunani, platy =
pipih, helminthes = cacing atau cacing pipih adalah kelompok hewan yang
struktur tubuhnya sedah lebih maju dibandingkan porifera dan Coelenterata.Tubuh
Platyhelminthes memiliki tiga lapisan sel (triploblastik), yaitu ekstoderm,
mesoderm, dan endoderm. Platyhelminthes tidak memiliki rongga tubuh (selom)
sehingga disebut hewan aselomata.Sistem pencernaan terdiri dari mulut, faring,
dan usus (tanpa anus). Usus bercabang-cabang ke seluruh tubuhnya.[1]
Platyhelminthes ada yang hidup bebas
maupun parasit.Platyhelminthes yang hidup bebas memakan hewan-hewan dan
tumbuhan kecil atau zat organik lainnya seperti sisa organisme. Platyhelminthes
parasit hidup pada jaringan atau cairan tubuh inangnya. Maka dari itu sangatlah
penting kita untuk mengetahui tentang siklus hidup dan habitat dari
platyhelminthes.[2] Dengan
melihat jumlah invertebrata begitu banyak khususnya filum poirifera belum kita
ketahui baik itu dalam hal bentuk, jenis mamfaat, maupun kerugian serta tempat
– tempat di mana ia terdapat, maka perlu diadakan praktikum ini.
B. Tujuan
Percobaan
Adapun
beberapa tujuan dilakukannya percobaan ini yaitu :
1. Untuk
mengamati larva-larva trematoda pada stadium cercaria dan redia.
2. Untuk
melaporkan gerakan-gerakan ataupun morfologinya.
C. Manfaat
Percobaan
Adapun manfaat
dilakukannya percobaan ini yaitu agar dapar mengetahui larva-larva trematoda
pada stadium cercaria dan redia serta agar dapat melaporkan gerakan-gerakan
ataupun morfologinya.
[1]Rudi, 2012, “Laporan Praktium Zoologi Plastyhelminthes,” Blog Rudi. http://rudibiologi.blogspot.com/2012/03/laporan-prtikum-zoologi-plathelminthes.html
(20 Mei 2012).
[2]Ibid.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Platyhelminthes adalah cacing daun yang
umumnya bertubuh pipih. Beberapa ahli menganggap Nemertia, yaitu satu kelas
yang tergabung dalam Platyhelminthes sebagai filum tersendiri yaitu filum Nemertia. Cacing daun bersifat triploblastik,
tetapi tidak berselom. Ruang digesti berupa ruang gastrovaskular yang tidak
lengkap. Cacing pita tidak mempunyai saluran digesti. Walaupun hewan-hewan itu
bersifat simetri bilateral, namun mereka mempunyai sistem ekstretorius, saraf,
dan reproduksi yang mantap. Sebagaian anggota cacing daun itu hidup parasitis
pada manusia dan hewan. Cacing-cacing planaria hidup dalam air tawar. Cacing
hati dan cacing pita bersiklus hidup majemuk dan menyangkut beberapa inang
sementara. Cacing-cacing nemertian hidup mandiri di laut dan terkenal sebagai
cacing ikat pinggang.[1]
Platyhelminthes merupakan cacing
yang tergolong triploblastik aselomata karena memiliki 3 lapisan embrional yang terdiri dari
ektoderma, endoderma, dan mesoderma. Namun, mesoderma cacing ini tidak
mengalami spesialisasi sehingga sel-selnya tetap seragam dan tidak membentuk
sel khusus. Sistem pencernaan cacing pipih disebut sistem gastrovaskuler, dimana peredaran makanan tidak
melalui darah tetapi oleh usus. Sistem pencernaan cacing pipih dimulai dari
mulut, faring,
dan dilanjutkan ke kerongkongan. Di belakang kerongkongan ini terdapat usus yang memiliki cabang ke seluruh
tubuh. Dengan demikian, selain mencerna makanan, usus juga mengedarkan makanan
ke seluruh tubuh. Selain itu, cacing pipih juga melakukan pembuangan sisa
makanan melalui mulut karena tidak memiliki anus. Cacing pipih tidak memiliki
sistem transpor karena makanannya diedarkan melalui sistem gastrovaskuler. Sementara
itu, gas O2 dan CO2 dikeluarkan dari tubuhnya melalui
proses difusi.[2]
Pembagian kelas dari Platyhelminthes adalah sebagai berikut :
1. Kelas Turbellaria
Contoh dari kelas ini yaitu Planaria sp. Hidupnya bebas di perairan
air tawar yang jernih dan tidak mengalir, biasanya terlindung di tempat-tempat
teduh (di balik batu-batuan, di bawah daun yang jatuh). Tubuhnya pipih dorsoventral, bagian kepala berbentuk
segitiga dengan tonjolan seperti dua keeping yang treletak di sisi lateral yang
disebut aurikel, dimana bagian ekor
meruncing.
2. Kelas Trematoda
Contoh dari kelas ini yaitu Fasciola hepatica. Ukuran tubuh antara 8-13 mm, bentuknya pipih
(seperti daun), susunan tubuh triploblastik yang terdiri dari lapisan ektoderm,
endoderm, dan mesoderm. Sistem pencernaan makanan sederhana. Sistem ekskresi
sama dengan sistem ekskresi pada Planaria
sp, hanya saluran utama yang mempunyai lubang pembuangan ke luar.
3. Kelas Cestoda
Contoh dari kelas ini yaitu Taenia solium, Taenia saginata, Taenia pisiformis, dan Echinococcus Granulosus. Hewan dewasa
hidupnya parasit pada hospes tetap, sedangkan hewan yang belum dewasa hidupnya
pada hospes sementara/ perantara. Bagian-bagian tubuh terdiri atas kepala,
leher, dan segmen-segmen (proglotid). Taenia tidak mempunyai mulut, dan tidak
memiliki saluran pencernaan makanan. Menyerap makanan dari usus hospes dengan
saluran pada permukaan tubuhnya.[3]
Kebanyakan filum Platyhelminthes
hidup sebagai parasit, maka umumnya merugikan manusia, baik langsung sebagai
parasit pada tubuh manusia maupun parasit pada binatang peliharaan seperti
babi, sapi, biri-biri, anjing dan sebagainya. Usaha-usaha untuk mencegah
infeksi pada manusia atau binatang peliharaan biasanya dengan memutuskan siklus
hidupnya baik mencegah jangn sampai terjadi infeksi pada hospes perantara maupun
pada hospes tetapnya sendiri. Oleh karena hal tersebut, pembuangan faeces
manusia harus diatur sehingga tidak memungkinkan terjadinya siklus hidup yang
lengkap. Misalnya untuk Taenia
terjadinya hexacant tertelan ternak tidak diberi kemungkinan. Daging yang akan
dimakan manusia diusahakan harus matang sehingga cysticercusnya mati.[4]
Beberapa spesies Platyhelminthes dapat
menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan. Salah satu diantaranya adalah
genus Schistosoma yang dapat menyebabkan skistosomiasis, penyakit parasit yang ditularkan
melalui siput air tawar pada manusia. Apabila cacing tersebut berkembang di
tubuh manusia, dapat terjadi kerusakan jaringan dan organ seperti kandung
kemih, ureter, hati, limpa, dan ginjal manusia. Kerusakan tersebut disebabkan
perkembanganbiakan cacing Schistosoma di dalam tubuh hingga menyebabkan
reaksi imunitas. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit endemik
di Indonesia. Contoh lainnya adalah Clonorchis sinensis yang menyebabkan
infeksi
cacing hati pada manusia dan hewan mamalia
lainnya. Spesies ini dapat menghisap darah
manusia. Pada hewan, infeksi cacing pipih
juga dapat ditemukan, misalnya Scutariella didactyla yang menyerang
udang jenis Trogocaris dengan cara menghisap cairan tubuh udang tersebut.[5]
[1]Mukayat Djarubito Brotowidjojo, Zoologi Invertebrata (Jakarta: Erlangga,
1989), h. 81.
[3]Adun Rusyana, Zoologi
Invertebrata (Bandung: ALFABETA, 2011), h. 53.
[4]Maskoeri Jasin, Zoologi
Invetebrata, (Surabaya: Sinar Wijaya, 1992), h. 131.
[5]Rudi, 2012. “Laporan Praktikum Zoologi
Platyhelminthes, “ Blog Rudi. http://rudibiologi.blogspot.com/2012/03/laporan-prtikum-zoologi-plathelminthes.html
(22 Mei 2012).
BAB III
METODELOGI PERCOBAAN
A. Waktu
dan Tempat
Adapun
waktu dan tempat dilaksanakannya percobaan ini yaitu :
Hari/tanggal : Senin/ 28 Mei 2012
Pukul : 13.00-15.00 wita
Tempat : Laboratorium Zoologi Lantai
II
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Samata – Gowa
B. Alat
dan Bahan
1.
Alat
Adapun alat yang akan digunakan pada percobaan ini
yaitu cawan petri, mikroskop stereo dan biasa, dan pinset/pipet.
2.
Bahan
Adapun bahan yang akan digunakan pada percobaan ini
yaitu air suling, larutan formalin 4% + gliserol 5% perbandingan 4 : 1, dan
siput (Limnea sp) yang diambil dari
sawah atau kolam.
C. Prosedur
Kerja
1. Pengamatan
larva Trematoda
a. Meletakkan
siput pada cawan petri yang berisi air suling sebanyak sepertiganya.
b. Memecahkan
cangkang siput dengan pinset, kemudian menggoyangkan cawan untuk melepaskan
siput.
c. Mengamati
larva redia ataupun cercaria. Membedakan kedua larva dari pergerakannya serta
anatominya. Jika suatu siput mengandung larva redia, maka pada umunya akan juga
menemukan larva cercaria dalam bentuk yang berbeda-beda. Melihat larva redia
berupa titik-titik putih yang bergerak cepat (menggunakan mikroskop stereo jika
sulit mengamati), sebaliknya larva cercaria bentuknya lebih besar, panjang dan gerakannya
sangat lambat. Mengambil larva-larva tersebut dan menempatkan pada objek gelas
untuk mengamati pada mikroskop biasa.
d. Jika
pergerakan larva cepat sehingga sulit mengamati, sebaiknya melakukan pengamatan
dengan menggunakan larutan formalin + gliserol.
e. Menggambar
dan menuliskan klasifikasinya.
2. Pengamatan
Fasciola hepatica
a. Memperoleh
Fasciola hepatica pada tempat-tempat
pemotongan sapi, kerbau atau kambing pada bagian hati atau saluran empedu.
Cacing yang diperoleh dapat disimpan sementara pada larutan NaCl fisiologis.
b. Mengamati
dengan menggunakan mikroskop stereo atau jika memungkinkan dengan lup.
Pengamatan anatomi harus menggunakan preparat awetan yang sudah diwarnai dan
dijernihkan.
c. Menggambar
pada posisi sebelah menyebelah dari cacing tersebut (bilateral simetris).
BAB IV
HASIL DAN
PEMBAHASAN
A. Hasil
Pengamatan
1. Larva
Fasciola hepatica
Keterangan :
1. Mulut
2. Saraf
cincin
3. Uterus
4. Testis
anterior
5. Kelenjar
kuning telur
6. Lendir
7. Testis
posterior
8. Kelenjar kulit
9. Ovarium
10. Penis
11. Faring
Gambar referensi
Keterangan
:
1. Mulut
2. Saraf
cincin
3. Uterus
4. Testis
anterior
5. Kelenjar
kuning telur
6. Lendir
7. Testis
posterior
8. Kelenjar kulit
9. Ovarium
10. Penis
11. Faring
2.
Bentuk
dewasa dari Fasciola hepatica
Keterangan
:
1.
Ovary
2.
Oral
sucker
3.
Ventral
sucker
4.
Uterus
5.
Cecum
3.
Daur
hidup Fasciola hepatica
keterangan :
1.
Telur
2.
Redia
3.
Siput
(Limnea sp)
4.
Serkaria
5.
Rumput
6.
Cacing
dewasa
B.
Pembahasan
a.
Morfologi
Morfologi cacing jantan berukuran sekitar 10-30 cm,
sedangkan betina sekitar 22-35 cm. Pada cacing jantan ditemukan spikula atau
bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior).Pada cacing betina, sepertiga
depan terdapat bagian yg disebut cincin atau gelang kopulasi. Cacing dewasa
hidup pada usus manusia. Parasit ini juga memiliki khas bercabang organ
reproduksi. Hati Fasciola juga memiliki pengisap oral yang digunakan
untuk secara efektif jangkar parasit dalam memotong empedu.[1]
b. Anatomi
Cacing ini
tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa sel api. Cacing ini bersifat
hemaprodit, berkembang biak dengan cara pembuahan sendiri atau silang, Pada
bagian depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat pengisap, dan
ada sebuah alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di belakang
mulut, juga terdapat alat kelamin. Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil
dari kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan membantu saat bergerak.[2]
c. Habitat
Fasciola
hepatica parasit
hidup pada jaringan atau cairan tubuh inangnya. Fasciola hepatica yang parasit
hidup di dalam tubuh inangnya (endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau
manusia.[3]
d.
Daur
hidup
Adapun
daur hidup dari Fasciola hepatica
yaitu :
1.
Cacing dewasa bertelur di dalam saluran empedu dan kantong
empedu sapi atau domba. Kemudian telur keluar ke alam bebas bersama feses domba. Bila mencapai
tempat basah, telur ini akan menetas menjadi larva bersilia yang disebut
mirasidium. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air
tawar (Lymnea auricularis-rubigranosa).
2.
Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi
sporokista (menetap dalam tubuh siput selama + 2 minggu).
3.
Sporokista akan menjadi larva berikutnya yang disebut redia.
Hal ini berlangsung secara partenogenesis.
4.
Redia akan menuju jaringan tubuh siput dan berkembang
menjadi larva berikutnya yang disebut serkaria yang mempunyai ekor. Dengan
ekornya serkaria dapat menembus jaringan tubuh siput dan keluar berenang dalam
air.
5.
Di luar tubuh siput, larva dapat menempel pada rumput untuk
beberapa lama. Serkaria melepaskan ekornya dan menjadi metaserkaria.
Metaserkaria membungkus diri berupa kista yang dapat bertahan lama menempel
pada rumput atau tumbuhan air sekitarnya. Perhatikan tahap perkembangan larva Fasciola hepatica.
6.
Apabila rumput tersebut termakan oleh domba, maka kista
dapat menembus dinding ususnya, kemudian masuk ke dalam hati, saluran empedu
dan dewasa di sana untuk beberapa bulan. Cacing dewasa bertelur kembali dan
siklus ini terulang lagi.[4]
e.
Peranan
Fasciola hepatica adalah parasit
yang cukup potensial penyebab fascioliasis atau distomatosis. Di Indonesia
fascioliasis merupakan salah satu penyakit ternak yang telah lama dikenal dan
tersebar secara luas. Keadaan alam Indonesia dengan curah hujan dan kelembaban
yang tinggi, dan ditunjang pula oleh sifatnya yang hemaprodit yakni berkelamin
jantan dan betina akan mempercepat perkembangbiakan cacing hati tersebut.
Cacing ini banyak menyerang hewan ruminansia yang biasanya memakan rumput yang
tercemar metacercaria, tetapi dapat juga menyerang manusia. Cacing ini termasuk
cacing daun yang besar dengan ukuran 30 mm panjang dan 13 mm lebar.[5]
f.
Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari Fasciola
hepatica adalah sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Phylum :
Platyhelminthes
Class :
Trematoda
Ordo :
Echinostomida
Genus :
Fasciola
Spesies :
Fasciola hepatica (Anonim, 2012)
[1]Aqsha, 2012, “Laporan
Praktikum Platyhelminthes ” Blog Aqsha.
http://aqshabiogger2010.
blogspot. com/2012/02/laporan-praktikum- platyhelminthes. html (26 Mei 2012).
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Alqarniu, 2012. “ Platyhelminthes ” Blog Alqarniu. http://alqarniu.blogspot.com/2010/10/v-behaviorurldefaultvmlo_10.html
(26 Mei 2012).
[5]Ibid.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun
kesimpulan pada pembahasan ini adalah sebagai berikut :
1.
Larva tremtoda yang dapat kami
amati adalah Fasciola hepatica.
2. Fasicola
hepatica pada cacing jantan ditemukan spikula atau bagian seperti untaian rambut di
ujung ekornya (posterior). Pada cacing betina, sepertiga depan terdapat bagian
yg disebut cincin atau gelang kopulasi. Cacing dewasa hidup pada usus manusia.
Parasit ini juga memiliki khas bercabang organ reproduksi. Hati Fasciola hepatica juga memiliki pengisap
oral yang digunakan untuk secara efektif jangkar parasit.
B. Saran
Adapun saran yang dapat saya berikan
setelah melakukan praktikum ini adalah agar praktikan lebih memperhatikan
kondisi bahan. Agar organisme yang diamati lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Brotowidjojo, Mukayat
Djarubito. Zoologi Invertebrata.
Jakarta: Erlangga, 1989.
Jasin, Maskoeri. Zoologi Invertebrata. Surabaya: Sinar
Wijaya, 1992.
Rudi, 2012. Laporan Praktikum Zoologi Platyhelminthes. http://rudibiologi. blogspot.
com/2012/03/laporan-prtikum-zoologi-plathelminthes.html (22 Mei 2012).
Rusyana, Adun. Zoologi Invertebrata. Bandung: ALFABETA,
2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar